Segala sesuatu punya nama. Dengan nama sesuatu itu diwakilkan. Lalu atas nama apa keterwakilan itu harus disampaikan. Bila atas namaku itu bermakna ego, atas namamu begitu juga. Atas nama kita, keterwakilan itu baru punya makna.
Makna atas nama bersama tak pernah mati, berbeda bila atas nama ego yang akan lenyap tatkala keegoan itu mati. Simaklah ketika 63 tahun lalu Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan atas nama bangsa Indonesia, bukan atas nama dirinya, maka sampai kini ia dikenang.
Lalu atas nama apa aku harus bersuara di sini, ketika kerja menjadi lambat hanya karena urusan tetek bengek. Lampu mati, internet merangkak bak siput di tepi kali. Genset yang seharusnya membantu mengatasi masalah, malah menimbulkan masalah baru.
Ya, jadi masalah baru ketika mesin pembangkit listrik itu “kelaparan” tanpa bahan baku. Lalu atas nama apa seorang Adi Warsidi harus merepet, ketika masih berkutat dengan seabrek naskah yang centang prenang, harus turun untuk mengangkat jirigen solar. Tidak adakah orang lainkah? Apa ini yang namanya kisah membeli lembu tanpa mampu membeli tali?
Namun atas nama kepentingan bersama, itu pun harus dilakoni sebagai kerja ekstra. Karena ada atas nama lain yang lebih penting, atas nama kepentingan publik kita harus bekerja.
Masalahnya, bila banyak atas nama melekat pada kita, bagaimana harus menjaganya atau mendahulukan salah satunya. Apakah kita harus banyak mewakilkan kepentingan orang lain sehingga atas nama itu dan atas nama ini serta tetek bengek lainnya ditabalkan? Keterwakilan atas nama seperti itu tak akan mampu benar-benar ril dalam kehidupan dan interaksi sosial.
Atas nama akan kehilangan makna bila diwakilkan pada banyak hal. Nilainya akan menyusut bila yang ditabalkan terlalu banyak. Tapi satu hal yang penting, atas nama bersama celoteh ini lahir. Atas nama kepentingan publik, hal-hal yang kecil sekali pun harus dilakukan. Jadi jangan merepet kawan, ketika atas namamu juga kugores catatan ini.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Atas Nama"
Post a Comment