Ujian Nasional (UN) baru saja usai. Beragam kabar kecurangan mencuat. Mulai dari beredarnya kunci jawaban, sampai pengawas membantu siswa. Kekhawatiran yang berlebihan membuat kepala sekolah dan guru melabrak aturan. Siwa diizinkan membawa handphone ke arena ujian. Melalui pesan pendek beragam jawaban soal pelik mengalir dari sang guru.
Guru, kepala sekolah, dan siapapun yang terkait, mungkin masih terlalu malu atau was-was dengan kemampuan anak didiknya. Aturan pun dilabrak, bantuan berkedok kecemasan dilakukan.
Adakah yang salah? Hingga itu harus dilakukan. Jawabannya, ya ada yang salah dengan pendidikan kita. Metode konvensional bukan zamannya lagi, karena tidak mampu mengembangkan potensi siswa.
Jam pelajaran yang melimpah dan melulu di dalam kelas malahirkan kebosanan. UNESCO mensyaratkan 800 sampai 900 jam pelajaran pertahun untuk Sekolah Dasar. SLTP dan SMA sedikit lagi di atasnya. Sementara di Indonesia, menurut UNESCO berlaku 1.400 jam per tahun. Hal ini tentu membuat siswa menjadi lumanyan jenuh. Apalagi ketika pendidikan hanya monoton di dalam kelas.
Namun, terbetik kabar menggembirakan, beberapa siswa asal Aceh memenangi beragam kompetisi di tingkat nasional. Sayangnya, mutiara-mutiara kecil itu lahir dari sekolah-sekolah swasta yang dibiayai oleh NGO internasional. Sebut saja Fatih Bilingual Schooll salah satunya.
Metode pembelajaran yang apik, menghasilkan kualitas apik juga. India sudah lama melakukan hal itu. Tahun 1913, Rabindranath Tagore, peraih nobel sastra membangun lembaga pendidikan Shantiniketan yang bermakna tempat damai.
Di lembaga pendidikan itu, penyair pujangga baru Indonesia, Sanusi Pane pernah mengecap pendidikan. Disitu pula Amartya Sen, peraih nobel bidang ilmu ekonomi pada tahun 1998, pernah mengecap pendidikan.
Di Aceh sendiri, pada tahun 1990-an, Ibrahim Hasan selaku gubernur, mendirikan sekolah unggul Modal Bangsa. Generasi pertama sekolah itu memang lumanyan bagus. Karena hanya siswa-siswa terpilih dari setiap kabupaten yang bisa mendapatkan pendidikan yang kala itu tergolong eklusif.
Namun ketika otonomi daerah berlaku. Pengelolaan SMU Modal Bangsa dilimpahkan kepada Pemkab Aceh Besar. Maka sejak itulah Modal Bangsa meredup.
Butuh keseriusan ekstra untuk membuat siswa mampu lulus UN dengan kemampuannya sendiri, tanpa harus menunggu sang guru menekan tuts HP mengirim kode jawaban.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "UN"
Post a Comment