Ketika manusia tidak lagi menggantungkan diri pada tuhan, maka muncullah otoritarianisme yang mengekang. Dan, budaya “ya pak” pun tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Di sisi lain, sikap yang mendewakan atasan itu juga akan melahirkan gerakan oposan terhadap kekuasaan itu sendiri. Imbas pengekangan terhadap kontrol publik.
Soal kontrol masyarakat itu, pernah jadi polemik di Aceh. sebut saja soal opini miring, kebijakan miring, sampai tudingan penguasa terhadap kelompok kritis sebagai kelompok berpikiran miring. Dalam kasus ini kita melihat begitu mudah penguasa menyematkan embel-embel tertentu kepada kelompok yang dianggapnya oposan. Padahal mereka hanya ingin mengontrol pemerintahan semata.
Sejak zaman dahulu kekuasa memang selalu berwajah ganda. Demikian kata Prof Dr Franz Magnis Suseno. Ada kalanya kekuasaan itu terlalu memesona, tapi tak jarang juga sangat menakutkan. Sang professor itu menambahkan, dari setiap kekuasaan, legitimasi kekuasaan tertinggi adalah legitimasi religius (baca; kekuasaan Illahi). Tak ada kekuasaan lebih tinggi selain legitimasi religius.
Begitu legitimasi religius ini didobrak, muncullah pertanyaan mengenai legitimasi kekuasaan. Selubung gaib yang menyelimuti raja (penguasa) dari tuntutan pertanggungjawaban pun tersobek. Karena raja juga manusia biasa, maka raja pun akan berhadapan dengan hukum, sebagaimana rakyat biasa. Maka di sinilah posisi kaum kritis dan oposan sangat dibutuhkan.
Kembali ke persoalan otoritarisme--yang secara kasar bisa diartikan sebagai upaya mengikuti doktrin atasan tanpa penjaringan—merupakan cerminan dari kekuasaan yang sok berkuasa. Suara rakyat yang sering disebut sebnagai suara tuhan, menjadi suara semau gue. Berbagai kebijakan dibuat atas nama rakyat, yang dalam prakteknya sangat jauh dari unsure kerakyatan.
Selama ini suara-suara kritis yang coba mengikis otoritarisme tersebut begitu mudah dipatahkan dengan pemuasan ekonomi sesaat. Apalagi seringkali adanya aroma gugat dulu tarik setoran kemudian dari bahasa kritis yang disampaikan. Berbagai lembaga anti korupsi dan mahasiswa yang begitu vocal di layar melakukan pembelaan terhadap rakyat tertindas, tapi di belakang layar, mereka tak ubahnya ceurape weuk sen yang ketiban “rezeki” dari penguasa yang digugat.
Sikap itu pula yang kemudian menjadikan lembaga anti korupsi dan himpunan mahasiswa tadi ikut mengamini apa yang disebut sebagai otoritarisme itu sendiri. Mereka kemudian menjadi kuda troya untuk kepentingan penuasa yang bisa kapan saja digerakkan untuk sebuah kepentingan. Meminjam istilah Eep Saefullah Fatah, kondisi yang demikian kemudian membuat kekuasaan berjalan tanpa pengawasan, sehingga dengan mudah terjebak dalam despotisme—hanya melayani kepentinan sendiri dengan menutup telingan dari teriakan rakyat.
Lalu golongan mana yang akan jadi oposan bagi penguasa? Jawabannya adalah rakyat harus melakukan apa yang pernah diploklamirkan oleh Nurcholis Madjid, Emha Ainun Najib, Utomo Dananjaya, dan Sugeng Satjadi di Hotel Rogent, Jakarta pada Sabtu, 22 Mei 1998 silam. Cak Nun dan kawan-kawan, menyuarakan agar rakyat secara pribadi maupun kolektif membangun oposisi, menjadi pengawas kekuasaan yang aktif dan artikulatif.
Kemudian, untuk mengembalikan peran lembaga anti korupsi dan mahasiswa yang terjebak dalam otoritarisme tadi, jauh-jauh hari Arbi Sanit sudah mewanti-wanti. Pakar politik dan pengamat militer ini dalam pengantarnya untuk buku Politik dan Mahasiswa, terbitan Gramedia (1986) menggolongkan mahasiwa sebagai warga masyarakat yang belum dewasa, yang mudah terjebak dalam kepentingan penguasa.
Tegasnya ia mengatakan bahwa, mahasiwa tidak mempunyai hak untuk menjadi kekuatan politik. Mahasiswa yang merasa dirinya harus memasuki dunia politik, maka mereka harus keluar dari lingkungannya. Hal itu menurut Arbi Sanit, karena kehidupan mahasiswa sebagai calon pemimpin masih dipertanyakan. Hal yang sama juga pernah disampaikan Prof Mukti Ali (1985).
Tapi itu dulu, kini mahasiwa malah begitu birahi untuk berpolitik. Malah di Aceh akan lahir Partai Mahasiwa (Parma) sebagai salah satu partai lokal. Tampaknya, Aceh butuh gerakan-gerakan oposan baru untuk menyentik kaum otoriratian yang terjebak dalam lingkaran kekuasaan.
Iskandar Norman
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Otoritarianisme dan Oposan"
Post a Comment