Lord Chesterfield (1694-1733) mengatakan, istana (dalam bahasa Aceh--Meuligoë) merupakan tempat penuh kesopanan, tapi juga tempat pembantaian dan kehancuran. Meuligoe yang menjadi tempat pembiakan ras pilihan juga menjadi tempat senyuman menjadi hinaan.
Permainan bermuka dua sering dilakoni oleh para pejabat yang mendiami meuligoë, baik pusat maupun daerah. Mereka yang di singgasana menginginkan lebih banyak kekuasaan. Namun, bahaya bagi seorang pemimpin untuk menunjukkan secara terbuka akan kehausannya itu. Maka sering kita lihat pemimpin berusaha tampil tidak mencolok untuk maksud memperpanjang kekuasaannya itu.
Permainan bermuka dua terus dilakukan dengan berbagai siasat. Ini merupakan dinamikan kekuasaan jelang pemilihan. Meuligoë yang seharusnya menjadi simbol suri tauladan yang elegan, malah berubah menjadi tempat menusuk lawan dari belakang. Karena itu, meuligoë selalu menjadi tempat permainan yang tak pernah berakhir, yang membutuhkan kewaspadaan ekstra dari penghuninya kalau tidak ingin disingkirkan.
Bagi para penghuni meuligoë yang berlaku adab, sopan, demokratis dan adil, akan tergilas oleh permainan di balik aturan tak bertulis, yakni kudeta dari orang-orang sekitar. Jika seorang pemimpin terlalu berpaku pada aturan protokoler secara harfiah, maka ia akan dihancurkan oleh orang-orang di sampingnya.
Hikayat pemimpin negeri yang hubungannya retak jelang pesta lima tahunan sudah sering dipertontonkan. Dan tontonan itulah yang membuat meuligoë sahih menjadi tempat pembantaian dan kehancuran kawan yang berubah jadi lawan, mitra yang berubah menjadi saingan.
Diplomat pada zaman reinansance, Niccolò Machiavelli mengungkapkan tentang hal ini dalam kalimatnya. “Manusia manapun yang mencoba bersikap baik sepanjang waktu pasti hancur di antara sejumlah manusia yang tidak terlalu baik.”
Di banyak meuligoë di Aceh, jelang pemilihan penghuni nomor satu meligoë itu, permainan semacam ini mulai terjadi. Para perebut kekuasaan sudah bersiap-siap menyelubungi tangan besinya dengan sarung beludru yang terlihat lembut, namun mematikan dengan tamparannya.
Kebaikan dalam hubungan baik atas nama politik menuju meuligoë hanyalah pesona di balik kedok penipuan dan mengakali lawan untuk mencapai puncak kekuasaan. Paham kudeta kekuasaan menuju meuligoë pernah disentil oleh Johann Von Goethe (1749 – 1832) katanya, satu-satunya cara untuk mencapai tujuan Anda adalah dengan jalan kekerasan dan kelihaian. Mereka berkata bahwa kasih sayang juga dibutuhkan, tapi Anda harus menunggu hari-hari yang baik untuk menunjukkan kasih sayang Anda, padahal kehidupan perlu di jalani setiap saat.”
Para politisi yang ingin menuju meuligoë yakin bahwa mereka bisa menjadi nomor satu dengan menunjukkan berbagai sikap yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan. Karena itu, pemangku jabatan di meuligoë harus hati-hati dengan orang-orang seperti itu, orang-orang yang mampu memainkan kekuasaan dengan cakap.
Untuk menghadapi orang-orang seperti itu, seorang pemimpin harus memainkan permainan pamer kelemahan. Begitu setidaknya kata Robert Greene dalam The 48 Law of Power. Memamerkan kelemahan merupakan strategi yang halus dan penipuan yang sangat efektif dalam permainan kekuasaan. Lawan akan terjebak dengan berbagai asumsinya terhadap kelemahan yang dilihatnya.
Sementara di sisi lain, ketika lawan lelap dalam anggapannya itu, seorang pemimpin yang ingin mempertahankan kekuasaannya bisa mengumpulkan logistik dan tenaga untuk pemilihan selanjutnya. Alih-alih menggunakan logistik lawan untuk ragam kepentingan. Inilah yang disebuh oleh pilsuf India abad tiga sebelum masehi, Kautilya, panah yang ditembak oelh si pemanah mungkin membunuh seseorang, tapi tipu muslihat yang dirancang oleh seorang manusia bijak bahkan bisa membunuh janin-janin yang ada dalam kandungan.
Meligoë di beberapa relung Aceh kini memang sedang panas, meski di permukaan terlihat dingin. Permainan kekuasaan sedang berlangsung untuk menjadi yang pertama di periode selanjutnya. Ada pula yang berlagak tak bernafsu untuk kedua kalinya di singgana, padahal jauh-jauh hari telah berusaha untuk mempertahankannya.
Seorang politisi yang menampakkan dirinya sebagai orang yang tidak bermain dalam permainan kekuasaan, hanya berusaha bertindak naif untuk melindungi citranya yang ingin mengejar kekuasaan. Para politisi seperti ini sering memamerkan kualitas moral baik mereka, kesalehan mereka, dan keadilan dalam bersikap. Tapi kita yakin, semua kita sudah pandai untuk melihat dan mencermati permainan politik keuasaan itu, untuk kemudian menentukan sikap pada pemilihan yang akan datang.
Permainan moral dan tebar pesona untuk meraup simpati lebih sering mendompleng agama. Orang yang sebelumnya biasa-bisa saja, bisa fasih membaca ayat dan hadis di atas mimbar. Inilah sisi lain dari permainan kekuasaan di meuligoë. Prof Dr Franz Magnis Suseno mengatakah ini sebagai kekuasaan yang berwajah ganda, yang awalnya jauh dari moralitas menjadi begitu memesona.
Untuk itu kita harus melihat segalanya secara runut dan utuh, tidak sepenggal-sepenggal. Karena legitimasi religius seseorang, termasuk politisi dalam uapaya memasuki meuligoë, hanya bisa dipahami dengan melihat peran sosial yang dimainkannya dalam menyatukan komunitas suatu masyarakat di bawah suatu kesatuan ritual dan kepercayaan umum. Begitu kata Emile Durkheim dalam The Elementary Froms of Religion Life (1961). Bukan peran moral yang dimainkan menjelang pemilihan saja.
Jadi untuk membuka pintu meuligoë bagi seorang politisi, jangan terjebak pesona dan permainan moral. Kalau tidak, meuligoë akan tetap menjadi tempat pembantaian dan kehancuran, seperti kata Lord Chesterfield.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Meuligoë"
Post a Comment