Mustahil tidak mencicipi madu dan racun yang sudah di ujung lidah
Apa yang disentil Kautilya dalam kisah klasik India “The Arthashastra” itu seakan dirasakan betul oleh Kepala Polri (Kapolri) Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dalam kisruh kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri.
Madu karena bisa menjadi sebuah moment untuk pembersihan lembaga kepolisian dari korupsi. Racun karena kasus kriminalisasi petinggi KPK Bibid Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ditengarai melibatkan sejumlah petinggi Polri. Terlebih lagi setelah pengakuan mantan Kapolres Jakarta Selatan, Kobes Pol Wiliardi Wizar, terdakwa pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen, yang mengatakan ada rekayasa untuk menetapkan Ketua non aktif KPK, Antasari Azhar sebagai tersangka.
Lebih menohok lagi setelah Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung Nasution, Selasa (17/11) menyerahkan rekomendasi final kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta agar proses hukum terhadap Bibin Saman Rianto dan Chandra M Hamzah dihentikan. Dari enam rekomendasi akhir Tim Delapan, salah satunya juga melanjutkan reformasi institusional dan reposisi personel pada tubuh kepolisian, KPK, dan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK).
Kasus ini semakin menenggelamkan isntitusi Polri dalam situasi yang labil akibat benturan berbagai kepentingan. Munculnya kasus ini sangat berpengaruh reformasi di tubuh Polri. Satu sisi memberikan peluang bagi Polri untuk memperbaiki diri dan bertindak profesional. Di sisi lain dihadapkan pada berbagai kepentingan institusional.
Soal reposisi, saya rasa sudah saatnya reposisi dilakukan tidak hanya di personel saja, tapi jauh dari itu yakni reposisi kelembagaan. Sudah sewajarnya kalau Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum direposisikan berada di bawah Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia (Depkum HAM). Ini sesuai degan Criminal Justice System.
Reformasi Polri sebenarnya sudah dimulai sejak 1 April 1999 lalu, ketika Polri memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sejak itu Polri menjadi institusi mandiri yang memiliki tugas dan tanggung jawab atas keamanan dalam negeri. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, Polri mempunyai tugas pokok memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Namun, reformasi itu kandas ketika Polri ikut menjadi korban situasi politik yang berbenturan dengan berbagai kepentingan. Dalam perjalanannya, pergantian Kapolri juga sering diakibatkan oleh perubahan kebijakan politik kekuasaan.
Selain itu pergantian Presiden juga berujung pada reposisi Polri. Pada era Soeharto Polri yang setubuh dengan TNI bernauang dalam ABRI. Pada masa Habibie direposisi ke Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankan). Era Abdur Rahman Wahid (Gus Dur) berkuasa Polri langsung berada dalam komando Presiden, hal ini kemudian dilanjutkan oleh Megawati Soekarnoputri.
Kini dibawah kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Polri didorong untuk berada di bawah Depatemen Dalam Negeri (Depdagri). Hal ini semakin memperjelas bagaimana Polri menjadi korban politik, terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain. Dan bukan tidak mungkin, Polri sebagai salah satu institusi penegak hukum direposisi ke Departemen Hukum dan HAM. Sebuah wacana yang layak diperbincangkan.[]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Reposisi"
Post a Comment