Para pekerja paksa asal Jawa di Aceh sering dipanggil ketting beer, si Babi Lanang. Sering pula dijuluki dwankess, patriot terpaksa.
Tak sedikit orang-orang hukuman dari Jawa itu mati karena dipaksa ikut berperang. Untuk menghadapi keganasan perang gerilya di Aceh, orang-orang hukuman itulah yang dijadikan tameng. ““Mereka mati bagai hewan yang tak ada gunanya lagi atau mati karena luka-luka, letih dan kelaparan,” tulis H C Zentgraaff dalam buku “Atjeh”
Zentgraaff menulis salahs atu peristiwa berdasarkan cerita seorang letnan dua bernama Freiherr van Undzu Wglofftein. Selama perjalanan patroli dibawah pimpinan komandan van Huetsz menuju Tangse. Pada hari ketiga perjalanan itu, Mayor van Leonen, komandan kereta api, terpaksa meninggalkan selusin pekerja paksa yang sakit di dalam hutan.
Pasukan Belanda yang sudah lemah dan kelaparan, tidak sanggup lagi menjaga para pekerja paksa itu. “Tak seorang pun yang tahu bagaimana nasib para pekerja paksa itu kemudian, bagaimana dan dimana mereka menemukan ajalnya,” jelas Zentgraaff.
Selama perjalanan operasi itu, pasukan kereta api terpaksa tidur di dalam hutan belantara setiap malam. Tidak ada kesempatan untuk mendirikan pondok-pondok bivak, karena pasukan harus berjalan kaki terus-menerus sampai hari menjadi gelap benar, dan barulah setiap prajurit merebahkan diri ditempat mereka berhenti.
Para pekerja paksa yang memikul barang-barang berat, benar-benar terperosok dalam tanah lumpur, dan tatkala perjalanan akan diteruskan keesokan harinya, sebelas orang diantar mereka tetap tergeletak ditanah. Badannya dingin dan kaku. “Ajal telah merenggut nyawa mereka pada malam harinya,” lanjut Zentgraaff.
Mayat-mayat serdadau suku Jawa yang tewas di dekat lembah itu, ditutup dengan ranting-ranting dan daun-daunan hijau. Sedangkan mayat pekerja paksa tinggal tergeletak begitu saja di tanah. “Tetapi baik mayat-mayat serdadu asal Jawa tadi maupun mayat-mayat pekerja paksa, kesemuanya menjadi makanan babi hutan serta binatang-binatang buas lainnya,” ugnkap Zentgraaff.
Tatkala pasukan itu pulang dari Tangse, maka kompi yang penghabisan yakni barisan yang paling belakang, membawa enam buah. Pasukan Belanda tersebut berpapasan dengan pejuang Aceh. Maka terjadilah perang mulai dari Beungah sampai ke Keumala Dalam, berlanjut hingga ke Seuriweue.
Tidak jauh dari sana, dalam semak-semak di pinggir jalan ditemukan lima pekerja paksa yang karena keletihan tergeletak disana. Mereka mati. Setelah perang berhenti, mayat-mayat itu kemudian diangkut dengan tandu oleh para serdadu ke bivak Gle Gapui. [iskandar norman]
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Antara Dwangkess dan Ketting Beer"
Post a Comment