Pascatsunami, kejahatan pertanahan rawan terjadi. Berita-berita warga menuntut ganti rugi tanah kepada pemerintah kerap menghiasi media. Mereka harus ber yel-yel mengangkat poster mengutuk, berteriak, bahkan mencela pemerintah. Penyerobotan tanah dengan dalih membagun sarana publik kerap jadi alasan mensahihkan penggunaan tanah rakyat dengan ganti rugi seadanya. Itu pun kalau ada.
Lebih dari itu, viktimisasi pertanahan juga kerap dilakukan oleh investor dengan legalitas dari kekuasaan. Intrik politik berdalih ekonomi membuat rakyat terjepit di dalamnya. Kenyataan ini diperparah lagi dengan politik hukum di bidang pertanahan yang menyangkut kebijakan pemerintah, peraturan hukum yang lebih memihak investor tinimbang jelata.
Penyimpangan kerap terjadi dalam pengurusan dokumen pertanahan. Meski jelas jelas pemerintah telah membuat aturan melalui Undang Undang Pokok Agraris (UUPA) sebagai peraturan pedoman pelaksanaan. Namun penerapannya kerap mengkebiri UUPA itu sendiri.
Tanah sebagai aktiva berwujud yang nilainya tak akan pernah susut, membuat daya tarik yang luar biasa untuk dikuasai. Belum pernah ada dalam sejarah investasi pertahanan investor merugi.
Kini hal itu merambah Aceh. Pembebasan tanah di berbagai daerah untuk pembangunan sarana publik maupun swasta, memunculkan apa yang disebut calo tanah. Calo ini bisa jadi warga biasa, pegawai pertanahan, atau siapa saja. Ketika mereka saling berkolaborasi maka hak warga atas tanah pun kerap dipangkas.
Calo berperan sebagai penghubung, sementara oknum di Badan Pertanahan Nasional (BPN) bermain mencari celah mengebiri aturan. Disinilah kejahatan itu terjadi. Untuk mencegah itu, sudah saatnya jelata membangun kekuasaan bersama menuntut hak. Yel-yel melalui gempalan tangan, poster dan spanduk salah satu membangun desakan. Meski itu sudah agak ketinggalan zaman.
Berteriak memang sudah tak zamannya lagi. Ketika aturan dikebiri, rakyat sebagai pemilik tanah harus mampu mencari celah untuk menutupnya. Gugatan clas action ke pengadilan merupakan salah satu cara terhormat. Lebih terhormat ketimbang berteriak di pinggir jalan.***
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Viktimisasi"
Post a Comment