Denyut politik di Aceh menjelang Pemilihan Kepala Pemerintahan Aceh (Gubernur) periode 2011-2017 kian terasa. Perempuan diharapkan hadir sebagai calon alternatif di tengah dominasi kaum pria. Aceh, Inggris dan Rusia punya sejarah tentang itu.
Hitung-hitungan kasar, perempuan merupakan pemilih terbesar di Aceh, jumlah mereka melebihi jumlah pemilih laki-laki. Kalau sloglam lama “perempuan memilih perempuan” berlaku, maka sahlah Aceh dipimpin oleh gubernur perempuan. Masalahnya, sampai sekarang belum muncul kandidat calon gubernur Aceh dari kalangan perempuan.
Pengalaman pada pemilihan legislatif tahun 2009 lalu, perempuan hanya dijadikan sebagai “magnet” bagi pemilih perempuan untuk mendongkrak perolehan suara bagi kandidat laki-laki. Kandidat dari kalanan perempuan lebih banyak berada pada nomor urut belakang. Sangat jarang—bahkan tidak ada—calon perempuan yang ditempatkan pada nomor urut pertama.
Keberadaan calon perempuan dalam daftar calon anggota legislatif hanya untuk memenuhi ketentuan undang-undang semata, yakni pemenuhan quota 30 persen perempuan daftar kandidat calon anggota legislatif suatu partai. Jadinya, perempuan hanya jadi pendulang suara saja.
Perempuan dalam kancah politik Aceh pernah mencoba bangkit pada tahun 2006 lalu. Aktivis perempuan di Aceh membentuk partai lokal di Aceh, Partai Aliansi Rakyat Aceh (PARA) sebagai wadah untuk perjuangan politik perempuan. Namun PARA sebagai partai perempuan pertama di Indonesia itu ternyata tidak lulus verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lalu pada pemilihan Gubernur Aceh tahun 2006, dua perempuan juga mencalonkan diri melalui jalur independen. Satu sebagai calon gubernur satu sebagai calon wakil gubernur. Namun juga gagal, mereka dinyatakan tidak lewat karena tidak lolos tes baca Alquran. Bagaimana dengan pemilihan gubernur akhir 2011 nanti, akankah perempuan kembali muncul, atau hanya sebagai pelengkap saja?
Keterlibatan perempuan dalam kancah politik bukanlah hal yang baru di Aceh. Kerajaan Aceh pernah dipimpin oleh empat sulthanah yang melanjutkan kejayaan Sultan Iskandar Muda. Mereka adalah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641 – 1675). Ia mangkat pada 23 Oktober 1675.
Tahta kerajaan Aceh kemudian dipegang oleh Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675 – 1678). Meski hanya tiga tahun menjabat sebagaiu sulthanah, ia mampu mengubah tatanan politik dan birokrasi Kerajaan Aceh. Atas nasehat Mufti Kerajaan Aceh waktu itu, Syeikh Abdul Rauf As Singkili (Tgk Syiah Kuala), Aceh dibagi menjadi tiga sagi, yang kemudian dikenal dengan sebutan Aceh lhee sagoe.
Pemerintahannya kemudian dilanjutkan Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah. Sulthanah ini dikenal lihat dalam politik luar negeri. Pada masa pemerintahannya, diplomat dari Kerajaan Inggris datang ke Aceh. Untuk mengamankan misi dagang Inggris di Selat Malaka, Inggris mengajukan proposal kerja sama ke Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah. Isinya, Inggris ingin membangun benteng di Aceh untuk kepentingan dagangnya.
Hal itu ditolak, ia menyatakan Kerajaan Aceh sanggup memberi keamanan setiap misi dagang yang singgah di pelabuhan Aceh. Inggris dibolehkan masuk ke Aceh, tapi tidak diizinkan mendirikan benteng sendiri. Setelah dia mangkat, tampuk kerajaan Aceh dipegang oelh Sulthanan Zainatuddin Kemalat Syah. Pada masa pemerintahannya, berbagai misi dagang Eropa datang ke Aceh, seperti dari Persatuan Dagang Perancis, Serikat Dagang Inggris, dan East Indian Company.
Mengapa para perempuan Aceh zaman itu mampu memegang kendali kerajaan sampai empat orang secara turun temurun?. Inilah yang menjadi bahasan dalam berbagai literatur sejarah pergerakan perempuan dunia abad ke-17. Kala itu Aceh telah menjadi contoh rujukan emansipasi perempuan di dunia. Ini yang disebut Robern Green sebagai kelebihan perempuan dalam memimpin.
Kepemimpinan para sulthanah di Aceh lebih fleksibel. Sama seperti yang kelak dilakukan oleh Ratu Elizabeth di Inggris dan Kaisar Chaterine the Great dari Rusia. Di Aceh, ketika terjadi pertentangan antara paham wujudiah dengan ahlulsunnah waljamaah, para sulthanan mengambil jalan tengah, yang membuat kekuasaannya langgeng. Mereka memimpin tidak meledak-ledak seperti kaum pria yang langsung menyatakan sikap dukungannya terhadap salah satu golongan.
Begitu juga ketika di Inggris terjadi pertentangan antara golongan katolik dengan protestan, Ratu Elizabeth melaju lewat jalur tengah. Ia menghindari persekutuan-persekutuan yang bisa menyebabkan dirinya memihak salah satu golongan. Dengan tetap berada di jalur tengah, ia bisa menggunakan pengaruhnya pada kedua golongan tersebut, dan kekuasaannya akan langgeng.
Chaterin the Great juga melakukan hal yang sama di Rusia, setelah menggulingkan suaminya Kaisar Peter II dan mengambil alih kendali Rusia pada tahun 1762. Gaya kepemimpinan perempuan yang feminim seperti Chaterin sangat susah ditebak. Ia selalu selangkah lebih maju dari langkah politik lawannya. Ia mampu beradaptasi dengan perlawanan lawan-lawan politiknya dengan tak pernah memaksa rakyat. Kepemimpinannya juga langgeng, dan dia bisa mereformasi Rusia dalam kurun waktu yang singkat.
Kepemimpinan perempuan-perempuan yang telah tercatat sejarah itu, selalu muncul sebagai alternatif di tengan pertentangan politik kaum pria. Kondisi politik Aceh hari ini juga menjurus pada hal demikian. Pertanyaannya sekarang, adakah perempuan di Aceh yang maju sebagai calon gubernur di tengah pertentangan politik kaum pria selama ini?
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Gubernur Perempuan"
Post a Comment